Transformasi Peringatan Hari Kartini, Sebuah Renungan - iyonesia

Breaking

About

Judul Blog

Wednesday, April 27, 2016

Transformasi Peringatan Hari Kartini, Sebuah Renungan

Laris ga mbak kebayanya? Wah, mas mpe kehabisan..ni baru nyetok lagi... Gmana usaha sewa bajunya mbak? Kalo saja semua hari nasional adalah hari Kartini, Baju Kebaya di salon rias pengantenku akan laris manis terus.... Yah, itulah berkah Kartini...

Meskipun tidak ada dasar hukum atau aturan yang jelas tentang cara memperingati hari Karini, anjuran untuk memakai pakaian adat nasional atau kebaya tampaknya sudah melekat dalam peringatan hari Kartini. Baik instansi pemerintah maupun bukan akan tampak ikut menyemarakkan peringatan hari kartini. Bahkan bermain futsal pun dilakukan dengan mengenakan kebaya dalam rangka menyemarakkan hari kartini. Pawai pendidikan oleh anak-anak  sekolah berpakaian adat pun ikut meramaikan suasana. Lomba memasak, upacara bendera berseragam kebaya, lomba menyanyi, cerdas cermat, puisi dan masih banyak lagi.

Dalam euforia gegap gempita peringatan hari Kartini yang memprihatinkan adalah bahwa tak banyak anak sekarang yang mengenal siapa itu Kartini dan apa sumbang perannya bagi bangsa Indonesia. Apakah Kartini adalah orang yang mengenalkan kebaya sehingga peringatan hari Kartini selalu diperingati dengan “berkebaya”? Tentu bukan, Kartini adalah pejuang pelopor emansipasi wanita. Ide, gagasan perjuangan emansipasi wanita Kartini tampak dalam surat-suratnya yang dikirim ke sahabat-sahabat penanya kala itu. Isi surat-surat itu kemudian dikenal luas setelah surat-surat Kartini dikumpulkan oleh Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, J.H. Abendanon. Pembukuan surat-surat  RA Kartini itulah yang memiliki nilai sejarah besar dalam peran emansipasi wanita. Kumpulan surat-surat Kartini tersebut lebih dikenal sebagai buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Tanpa adanya pembukuan surat-surat tersebut tentu kita tidak akan dapat mengetahui ide besar dari seorang Kartini tentang emansipasi wanita. Pembukuan surat-surat itulah yang memiliki nilai sejarah besar dalam emansipasi wanita khususnya di Indonesia.

Lantas dengan kegiatan peringatan Kartini yang selama ini banyak dilakukan dimana letak esensi memperingati hari Kartini? Apakah dengan “berkebaya” anak didik kita kemudian mengenal semangat yang diusung Kartini kala itu? Apakah ada hubungannya antara berpakaian kebaya dan emansipasi wanita yang diusung Kartini? Jelas sekali tidak ada benang merah yang jelas antara “berkebaya” dengan peringatan hari Kartini. Kebetulan Kartini lahir dan hidup pada jaman kebaya. Jika Kartini lahir dan hidup pada jaman jilbab syar’i, apakah peringatan hari Kartini akan diperingati dengan anjuran untuk memakai jilbab syar’i?
Perlu adanya inovasi dalam peringatan Hari Kartini agar anak didik kita dapat memahami, meneladani dan menerapkan tentang semangat emansipasi wanita yang diusung Kartini kala itu. Agar semangat itu tidak dikaburkan atau bahkan tenggelam oleh semaraknya “berkebaya”. Mindset masyarakat perlu dirubah, mengenai Kartini. Kartini tidak identik dengan kebaya. Kenalkan sosok Kartini pada anak didik yang identik sebagai pribadi yang cerdas, berpikiran jauh kedepan (futuristis). Namun, mengingat penjejalan pengetahuan semata-mata tak banyak menolong anak didik dalam memahami esensi emansipasi wanita yang diusung Kartini, maka upaya pengenalan mengenai Kartini dapat dikemas dalam berbagai ide kreatif untuk dimasukkan dalam proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. 

Rangsang dan doronglah anak didik untuk mencari tahu tentang Kartini melalui penugasan sekolah yang menantang dan kontekstual.  Pengenalan dapat diawali dari pengenalan tentang emansipasi wanita. Apa itu emansipasi wanita, siapa yang memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia, apa manfaat emansipasi wanita, bagaimana emansipasi wanita di masa sekarang. Tentu hal demikian akan lebih mengenalkan siswa tentang emansipasi wanita dibandingkan terjebak dengan “berkebaya”. Beberapa model pembelajaran pun dapat dimanfaatkan untuk pengenalan ini sekaligus membina kreativitas anak didik, diantaranya problem based learning (PBL) dan project based learning (PjBL).
Misal melalui PBL, anak didik dapat diajak untuk mencari dan mengamati sebuah masalah di lingkungan terkait dengan emansipasi wanita. Kemudian anak pun dibimbing untuk menyusun sebuah hipotesis mengapa terjadi demikian, mengembangkan berbagai ide untuk mengatasi masalah tersebut untuk kemudian memilih salah satu sebagai langkah pemecahan masalah dan kemudian menyampaikannya dalam bentuk presentasi dan diskusi. 

Model pembelajaran PjBL pun dapat digunakan sebagai wahana untuk pengenalan terhadap semangat emansipasi yang diusung Kartini. Pemberian tugas pembuatan proyek pameran seni karya foto tentang emansipasi wanita wanita dari jaman dulu dan masa kini bisa ditawarkan kepada anak didik kita untuk merangsang kreativitasnya dalam menyampaikan gagasan atau ide emansipasi wanita yang mereka pahami kepada orang lain. Atau pun penugasan untuk membuat sebuah karangan atau tulisan mengenai emansipasi wanita pun dapat dilakukan. 

Poyek pembuatan tulisan pendapat ide anak didik bertema tentang Kartini di jaman dulu dan Kartini masa sekarang pun dapat dilakukan. Tetapi tulisan itu pun perlu adanya wadah untuk dipublikasikan, tidak hanya sekedar ditulis dalam kertas kemudian dikumpulkan begitu saja. Tugas tersebut dapat dipublikasikan melalui blog pribadi siswa agar dapat dibaca oleh orang lain.

Penugasan seperti ini selain melatihkan skill kreativitas juga dapat meningkatkan kemampuan literasi membaca anak didik. Mau tidak mau, untuk memecahkan masalah dari penugasan yang diberikan anak didik harus mencari sumber belajar mengenai kartini maupun tentang emansipasi wanita. Secara tidak sadar anak didik pun membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri sejalan denga teori konstruktivisme yang berorientasi pada pembentukan pengetahuan melalui proses menemukan, menandai serta mengorganisasikan data yang baru. Peran guru lebih cenderung sebagai fasilitator dan motivator dalam pembelajaran.

Tentu masih ada banyak ide kreatif yang dapat dilakukan guru untuk mengenalkan dan memahamkan anak didiknya mengenai emansipasi wanita dalam peringatan hari Kartini daripada sekedar menyuruh anak didik untuk “berkebaya” atau berpakaian adat nasional. Peran guru sebagai fasilitator pembelajaran diharapkan dapat membantu anak didik agar menjadi pribadi yang kreatif. Namun demikian, peringatan hari Kartini yang dikemas dalam bentuk seperti ini tentu dapat dikembangkan tidak hanya sebatas peringatan hari Kartini. Peringatan-peringatan yang lain pun dapat dikemas sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai ajang pembelajaran yang bermakna bagi siswa, tidak hanya sebatas peringatan seremonial rutinitas yang tak berbekas.

1 comment: